Rabu, 18 November 2009

METRO 18 Nov 2009

*Kasus Majikan Aniaya Pembantu dan Baby Sitter
Dipukul Hingga Susah Kencing

PONTIANAK, METRO- Fransiska Yeni korban penganiayaan majikannya Sh, siap melaporkan kembali kasus yang dialaminya ke polisi. Hal ini disampaikan kepada penanggung jawab Forum Relawan Kemanusian Pontianak (FRKP), Br Stephanus Paiman Ofm Cap Senin (16/11) malam. Yeni sapaan akrabnya, ditemani pihak keluarga dan tokoh masyarakat setempat meminta pendampingan dengan FRKP atas kasus yang menimpanya. Awalnya dia sedikit tertutup dan enggan bercerita mengenai penganiayaan yang dialami, namun akhirnya dia bercerita juga kepada Steph.Selain penganiayaan fisik terhadap badan, dia juga mengaku sulit buang air kecil karena kemaluannya dicubit dan disodok dengan gagang penyapu oleh Sh. “Rambut saya juga dijambak hingga bagian atas ada yang rontok,” ceritanya. Setelah melakukan rembuk, pihak keluarganya sepakat untuk meminta biaya perawatan dan denda adat kepada keluarga Sh. “Denda adat itu tidak besar, hal ini sesuai dengan risalah yang ada. Hanya sekitar Rp 3,4 juta. Itupun nilainya ril dan disetujui dari suami pelaku,” jelas Steph kepada koran ini setelah kembali dari Desa Pak Kumbang.Kedatangannya ke desa Pak Kumbang menurut Steph, untuk meredam gejolak masyarakat dan memberikan keterangan mengenai proses kasus tersebut sebenarnya. “Saya mendapat kabar mereka mau turun lagi ke Pontianak, di sana saya jelaskan akhirnya mereka tidak jadi turun dan mempercayakan pendampingan kasus tersebut kepada kita,” jelas Steph.Untuk korban yang telah pulang ke Lampung, aktivist Jakarta asal Lampung siap memfasilitasi dan membantu agar korban kembali ke Pontianak guna menunggu proses hukum. Selasa (7/11) suami Sh dan pengacaranya kembali mendatangi FRKP. Mereka meminta Steph membantu agar Sh bisa ditangguhkan. “Saya katakan kepada mereka, FRKP dan saya pribadi tidak bisa mengintervensi petugas dalam kasus tersebut,” urai Steph. Sekitar pukul 17.00 WIB, suami Sh sembari membawa anaknya yang masih kecil kembali mendatangi FRKP mengutarakan hal yang sama. Bahkan dia sempat menangis sedih, karena anaknya selalu mencari sang ibu. “Pengacara Sh menyerahkan surat pencabutan laporan kepada kita. Artinya menurut mereka pencabutan laporan itu tidak ada,” tukas Steph. (jai)

Pembantu Dianiaya

Hukum Berat Majikan Penganiaya Pembantu
*Dua Korban Diperdaya Tandatangani Pencabutan Laporan*
Dipulangkan ke Kampung Oleh Pengacara Tersangka

PONTIANAK, METRO- Penanggung Jawab Forum Relawan Kemanusian Pontianak (FRKP) Br Stephanus Paiman Ofm Cap, meminta polisi menghukum dan memproses setiap majikan yang menganiaya pembantunya. Hal disampaikan Steph sapaan akrabnya, terkait penganiayaan yang dilakukan Sh, terhadap Fransiska dan Turinah di Nusa Indah. "Kita selalu berteriak dengan kekerasan yang dilakukan warga Malaysia terhadap pembantunya warga kita, ini kejadian di depan mata kita. Hukum harus ditegakkan," pintanya.Dalam kasus ini Steph, sangat menyayangkan adanya upaya pihak tertentu yang membuat korban harus menandatangi surat pencabutan laporan dan dipulangkan ke daerah asalnya. "Ada yang aneh dalam kasus ini, korban oleh pengacara terdakwa yakni Sutadi dengan izin penyidik Poltabes memberikan gaji kepada korban. Kemudian tanpa sepengetahuan pihak P2TP2A, korban dipulangkan," tuturnya lagi ketika ditemui wartawan, usai mengadakan pertemuan di kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Minggu (15/11) sore.FRKP dalam kasus ini menurut Steph akan terus memantaunya, hingga proses ke Pengadilan. "Awalnya kita didatangi warga Desa Pak Kumbang, mereka menanyakan kasus yang menimpa Fransiska. Mereka mendengar isu, kalau pelakunya dilepaskan. Setelah kita melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, perwakilan warga diterima di Poltabes dan dapat melihat langsung pelakunya masih ditahan," urai Steph. Perwakilan warga ini diharapkan Steph, bisa memberitahu warga di Desa Pak Kumbang kalau kasus tersebut masih diproses polisi.Nila Kusuma, Staf rumah tangga sekretariat P2TP2A menjelaskan, kedua korban dibawa keluar dari Shelter setelah penyidik Poltabes menelponnya. "Saya ditelpon Kanit PPA Poltabes IPDA Andi sebanyak dua kali. Dia bilang, korban Turinah mau dibawa ke Jawa dan dia akan dipulangkan. Sedangkan Fansiska akan dijemput Yayasan," jelasnya. Penjemput Turinah ternyata adalah pengacara Sh, ini tidak diketahui Nila. "Saya tidak tahu kalau pak Sutadi itu pengacara pelaku, saya fikir anggota polisi. Selain itu saya juga menyangka Kanit PPA telah mendapat izin dari ketua kami," ceritanya. Kedua korban menurutnya, memang sempat disuruh tanda tangan, tapi mereka tidak mengetahui isinya." Mereka disuruh tanda tangan dahulu baru dibaca, selain itu mereka juga diberikan yakni Turinah sebesar Rp 7,5 juta dan Fransiska Rp 6 juta. Di dalam kwitansi tertulis uang tersebut untuk pembayaran gaji, pengobatan dan perawatan," timpalnya.Hal senada juga diakui Herlina dan Yustina dua tenaga ahli P2TP2A. "Pengacaranya bilang hanya mau antar gaji, kita tidak diberitahu kalau korban justru akan dipulangkan ke Jawa. Padahal Turinah itu masih mengalami sakit," kenang Herlina. Kasat Reskrim Poltabes AKP Sunario ketika dikonfirmasi ke handphonenya mengungkapkan, proses kasus tersebut masih dilakukan Tim Reskrim Poltabes. "Kalaupun ada pencabutan laporan, hal itu tidak menghilangkan pidananya. Kasus tersebut masih dilanjutkan," ungkapnya. (jai)

Selasa, 20 Oktober 2009

Pendampingan Terhadap Bayi Penderita Tumor



Jum'at, 05 Desember 2008 , 07:39:00

PONTIANAK – Selama dua malam Aldo Alfino (9 bulan) penderita tumor di pantat asal Desa Alur Batang Kecamatan Teluk Batang Kabupaten Kayong Utara harus tidur beralaskan koran di pelataran RSUD Sudarso Pontianak. Setelah ditemukan mahasiswa, Aldo bersama kedua orang tuanya Ganggang (30) dan Yeni (30) dan saudara kandungnya Aldi (5) dibawa ke Asrama Mahasiswa Kayong Utara, Rabu (3/12) malam. Sebelumya, sejak 1 Desember, mereka terlantar di rumah sakit itu karena tidak ada keluarga di pontianak.

Hal tersebut terpaksa dilakukan karena pihak rumah sakit tidak menyediakan ruang inap. Sambil menunggu operasi, Ganggang dan Yeni memutuskan tidur beralaskan koran di pelataran RSUD Sudarso. “Kami tidak ada uang untuk bayar penginapan,” ujar Ganggang.Satu malam di asrama mahasiswa, keluarga ini kemudian dibawa ke sekretariat Forum Relawan Kemanusian Pontianak, oleh Stephanus Paiman.

Diceritakan Ganggang, tumor di pantat Aldo sudah ada sejak lahir. Namun ukurannya tidak sebesar sekarang. Tidak kuasa melihat kondisi anaknya yang semakin parah, ia memutuskan berobat ke Pontianak. Sudah dua kali dia dan istrinya membawa Aldo ke RSUD. Pertama, pada Juli 2008 lalu. Karena tak ada biaya, ia meminjam Askeskin orang lain, berharap Aldo dapat di operasi tanpa harus mengeluarkan uang. Mereka ditolak, data di kartu Askeskin tidak sesuai dengan yang ada di Kartu keluarga. “Ditolak saat itu kami sadar. Karena memang datanya tidak sesuai. Kami pulang dengan besar hati,” ujarnya.

Sepulangnya dari Pontianak, ganggang membuat kartu Jamkesmas. Mereka kembali ke Pontianak 1 Desember. Setelah diperiksa, tanpa memberitahu apa sakit anaknya dokter menyarankan rawat jalan. Mendengar keputusan itu, Ganggang berusaha menjelaskan kondisi mereka yang tidak punya uang dan keluarga di Pontianak. Pihak rumah sakit tetap tak bisa menampung Aldo dengan alasan semua ruangan penuh. “Sambil menunggu scene yang kedua, kami memutuskan menginap di rumah sakit, walaupun hanya beralaskan koran,” turunya.

Sebagai petani padi, untuk berangkat ke Pontianak saja dirinya tak punya biaya. Kembali diceritakannya, untuk berangkat ke Pontianak ia harus meminta sumbangan kepada warga di Teluk Batang. Dengan berbekal foto Aldo, Ganggang datang ke rumah-rumah warga. “waktu itu hanya dapat Rp 200 ribu, dengan uang itulah kami ke Pontianak,” katanya. Hatinya pilu, setiap saat Aldo hanya menangis. Tumor yang terus membesar membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Jika tidur posisinya selalu miring, duduk pun tak bisa normal. Hal tersebutlah yang mendorongnya berbuat apa saja agar Aldo dapat sembuh. Tak lupa dirinya mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa KKU dan FRKP yang telah membantu keluarganya. “Kalau tidak ada yang bantu, saya tidak tahu harus bagaimana,” ucapnya.(hen)

Mayat Anaknya dibawa pakai Tas Ransel

Mayat Anaknya dibawa pakai Tas Ransel

KEDATANGAN seorang pria, Tahir (48) pada Rabu (4/2) membuat gempar Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak. Ia membawa sebuah tas ransel berisi mayat bayi yang baru lahir. ”Saya bawa jenazah anak saya,” ujar Tahir kepada Penanggungjawab FRKP, Stephanus Paiman kemarin.Beberapa orang yang ada disitu sempat bingung mendengar perkataan Tahir. Mereka pun menanyakan dimana jenazah anaknya. ”Anak saya di dalam tas ini,” jawab Tahir sambil menunjukkan tasnya.Tas ransel tersebut berukuran kecil, sekitar 20cm x 30 cm, berwarna hitam dan merah. Ketika dibuka, semua yang melihat terkejut. Di dalam tas terdapat jenazah bayi dibungkus handuk putih.

”Anak saya meninggal dalam kandungan. Saya tidak punya uang untuk membawanya pulang ke kampung.” lanjut Tahir. Tahir datang menggunakan sepeda motor bersama Domianus Sumirno. Ia meminta bantuan agar bisa membawa anaknya pulang ke kampungnya. Tahir berasal dari Dusun Setutu, Desa Bengkawe, Kecamatan Mempawah Hulu. ”Istri saya masih di rumah sakit,” kata Tahir lirih. Tahir datang ke Pontianak bersama istrinya Agnes atas rujukan RS Rubini Mempawah. Agnes hamil sembilan bulan. Dokter di Mempawah menyatakan anak keenamnya tersebut meninggal di dalam kandungan. Mereka dirujuk ke RSUD Sudarso untuk penanganan selanjutnya.

”Kami tiba di RSUD Sudarso Selasa (3/2) malam. Hanya bawa uang Rp500 ribu. Sudah habis dipakai beli tiga kantung darah di PMI. Katanya kalau Jamkesmas sudah beres, baru diganti uang untuk beli darah itu,” ungkap Tahir. Akhirnya, beberapa anggota FRKP pun membersihkan jenazah bayi. Sebagian mencari peti dan mobil untuk mengantar Tahir pulang. Ketika peti tiba, jenazah pun dimasukan ke dalamnya. Tahir pun duduk dengan tenang di dalam mobil bersama peti tersebut.
”Kami mau pulang ke Menjalin. Tapi istri masih tinggal di rumah sakit,” ujarnya.Penanggungjawab FRKP, Stephanus Paiman merasa prihatin dengan kejadian tersebut. ”Karena tidak punya uang, jenazah dimasukan ke dalam tas ransel. Kami bantu semampu kami,” ujarnya. (uni)

Sumber : Pontianak Post
Pontianak Pos, 8 Oktober 2008

TKI asal Ketapang Masuk Sel Malaysia


PONTIANAK - Sungguh malang nasib Paulina Trisnawati (23). Tenaga kerja asal Balai Bekuak, Ketapang ini dipenjara dan deportasi dari Malaysia, padahal tidak digaji sepeser pun oleh majikannya. Ketika tiba di Jakarta, Paulina ditampung di markas Peduli Buruh Migran selama dua bulan. Dengan bantuan Romo Heri, Paulina dipulangkan ke Pontianak menggunakan pesawat Selasa (7/10). Kemudian dijemput Penanggungjawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP), Stephanus Paiman.

Paulina mengaku berangkat ke Kuala Lumpur Juni 2007, diajak seorang warga Batu Ampar bernama Cambang. Mereka berangkat melalui Kuching menggunakan bis antarnegara. Berangkat ke Kuala Lumpur menggunakan pesawat terbang. Rencananya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Upah yang dijanjikan sebesar RM450 setiap bulannya. Paulina bekerja pada dua majikan. “Tetapi tetap tak digaji sepeser pun,” ujarnya di markas FRKP kemarin.

Bahkan, dia hanya makan nasi pada malam hari. Pagi harinya hanya makan kue dan siang harinya makan sebungkus mie instan. Kejadian tersebut berlangsung selama setahun. Hingga akhirnya Paulina ditangkap polisi Malaysia ketika sedang berbelanja di supermarket. Dia dipenjara selama sebulan. Diduga penangkapan tersebut terjadi karena adanya unsur kesengajaan dari majikannya.

“Saya hanya pulang dengan sandal jepit tanpa membawa apa-apa,” jelas anak ketiga dari pasangan Helmi dan Kinon ini.
Penanggungjawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP), Stephanus Paiman mengaku akan membantu kepulangan Paulina hingga ke kampung halamannya. Dia berharap para pencari kerja bisa belajar dari kasus ini, sehingga berfikir matang untuk bekerja di Malaysia. “Lebih baik bekerja di negeri sendiri. Daripada mencari kerja yang belum jelas,” imbau Stephanus. (uni)


Dampingan terhadap TKI

amis, 16 November 2006
TKI asal Kalbar Kembali Dideportasi

Pontianak,- Delapan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kalimantan Barat yang bekerja di Malaysia, Rabu (14/11), tiba di Pelabuhan Dwikora Pontianak menggunakan KM Bukit Raya. Dua dari delapan orang tersebut adalah anak-anak yang berusia di bawah sepuluh tahun.

Kapal yang membawa TKI itu tiba di Pontianak sekitar pukul 05.00 WIB. Mereka dijemput relawan Forum Relawan Kemanusiaan (FRK) Pontianak, kemudian ditampung beberapa jam di poskonya. Para TKI itu kemudian dipulangkan ke kampung halamannya menggunakan fasilitas yang disediakan FRK Pontianak.

"Untuk yang di wilayah Kabupaten Sambas, kami antar langsung menggunakan mobil. Tidak ada satupun pejabat pemerintah yang perhatian akan nasib mereka. Padahal, mereka ini warga negara yang memiliki hak yang sama dengan lainnya," ungkap Penanggungjawab FRK Pontianak, Br Stephanus Paiman OFM Cap.

Delapan TKI itu berasal Kota Pontianak sebanyak dua orang, Kabupaten Pontianak sebanyak dua orang, Kota Singkawang sebanyak satu orang, dan Kabupaten Sambas sebanyak tiga orang. "Mereka dideportasi dari Malaysia, setelah menjalani hukuman penjara. Di penjara, ada juga yang mengalami perlakuan kurang manusiawi," kata Stephanus.

Adapun mereka yang dipulangkan terdiri atas enam pria dan dua perempuan. Mereka adalah Abdul Kholis (22), Sira (29), Supriyadi (20), Suriyana (35), Haris Zulkarnain (6), Siti Maisara (2,5), Abdul Ajis (25), Maskhur (22). Mereka dihukum penjara dengan kesalahan yang beragam, dengan masa hukuman juga beragam.

Sebelum dipulangkan ke Pontianak, para TKI itu ditampung di shelter milik Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jakarta selama dua minggu. Aktivis SBMI bekerjasama dengan Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dalam pemulangan para pahlawan devisa itu.

Pihaknya menyayangkan minimnya perhatian Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat terhadap para TKI yang bermasalah ini. "Jangan karena jumlah mereka sedikit lantas diabaikan. Mereka juga punya hak diperlakukan sebagai warga negara kelas satu. Apalagi pemerintah sudah memiliki dana khusus untuk menangani TKI yang bermasalah ini," katanya.

Sepanjang tahun 2005, jumlah kedatangan TKI sebanyak 308.663 orang. Jumlah TKI yang bermasalah sebanyak 19.048 orang atau sekitar 6,18 persen. Mereka yang bermasalah memiliki persoalan beragam, mulai tidak ada dokumen hingga pelecehan seksual.

Data yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan sebanyak 3.847 orang merupakan korban PHK sepihak, pekerjaan tidak sesuai kemampuan sebanyak 2.099 orang, gaji tidak dibayar mencapai 1.866 orang, tidak mampu bekerja sebanyak 1.887 orang, dan dokumen tidak lengkap sekitar 1.467 orang.

"Sebenarnya, dokumen mereka itu lengkap. Hanya saja, ketika di negeri orang, dokumennya dipegang oleh majikan. Nah, karena masuknya tak lewat PJTKI, mereka tidak diberi gaji. Begitu beberapa tahun kemudian, korban dipekerjakan dengan orang lain. Terkadang dipaksa. Bahkan, ada yang dipaksa melayani nafsu bejat lelaki hidung belang," kisah Stephanus.

Data Depnakertrans juga menyebutkan sebanyak 1.372 orang menjadi korban penganiayaan, pelecehan seksual sebanyak 1.314 orang, majikan bermasalah mencapao 1.200 orang, komunikasi tidak lancar sebanyak 1.162 orang, kecelakaan kerja sebanyak 838 orang, sakit akibat kerja sebanyak 819 orang, sakit bawaan sebanyak 762 orang, dan majikan meninggal mencapai 419 orang. (mnk)

< Delapan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kalimantan Barat yang bekerja di Malaysia, Rabu (14/11), tiba di Pelabuhan Dwikora Pontianak menggunakan KM Bukit Raya. Dua dari delapan orang tersebut adalah anak-anak yang berusia di bawah sepuluh tahun.

Kapal yang membawa TKI itu tiba di Pontianak sekitar pukul 05.00 WIB. Mereka dijemput relawan Forum Relawan Kemanusiaan (FRK) Pontianak, kemudian ditampung beberapa jam di poskonya. Para TKI itu kemudian dipulangkan ke kampung halamannya menggunakan fasilitas yang disediakan FRK Pontianak.

"Untuk yang di wilayah Kabupaten Sambas, kami antar langsung menggunakan mobil. Tidak ada satupun pejabat pemerintah yang perhatian akan nasib mereka. Padahal, mereka ini warga negara yang memiliki hak yang sama dengan lainnya," ungkap Penanggungjawab FRK Pontianak, Br Stephanus Paiman OFM Cap.

Delapan TKI itu berasal Kota Pontianak sebanyak dua orang, Kabupaten Pontianak sebanyak dua orang, Kota Singkawang sebanyak satu orang, dan Kabupaten Sambas sebanyak tiga orang. "Mereka dideportasi dari Malaysia, setelah menjalani hukuman penjara. Di penjara, ada juga yang mengalami perlakuan kurang manusiawi," kata Stephanus.

Adapun mereka yang dipulangkan terdiri atas enam pria dan dua perempuan. Mereka adalah Abdul Kholis (22), Sira (29), Supriyadi (20), Suriyana (35), Haris Zulkarnain (6), Siti Maisara (2,5), Abdul Ajis (25), Maskhur (22). Mereka dihukum penjara dengan kesalahan yang beragam, dengan masa hukuman juga beragam.

Sebelum dipulangkan ke Pontianak, para TKI itu ditampung di shelter milik Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jakarta selama dua minggu. Aktivis SBMI bekerjasama dengan Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) dalam pemulangan para pahlawan devisa itu.

Pihaknya menyayangkan minimnya perhatian Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat terhadap para TKI yang bermasalah ini. "Jangan karena jumlah mereka sedikit lantas diabaikan. Mereka juga punya hak diperlakukan sebagai warga negara kelas satu. Apalagi pemerintah sudah memiliki dana khusus untuk menangani TKI yang bermasalah ini," katanya.

Sepanjang tahun 2005, jumlah kedatangan TKI sebanyak 308.663 orang. Jumlah TKI yang bermasalah sebanyak 19.048 orang atau sekitar 6,18 persen. Mereka yang bermasalah memiliki persoalan beragam, mulai tidak ada dokumen hingga pelecehan seksual.

Data yang dikeluarkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan sebanyak 3.847 orang merupakan korban PHK sepihak, pekerjaan tidak sesuai kemampuan sebanyak 2.099 orang, gaji tidak dibayar mencapai 1.866 orang, tidak mampu bekerja sebanyak 1.887 orang, dan dokumen tidak lengkap sekitar 1.467 orang.

"Sebenarnya, dokumen mereka itu lengkap. Hanya saja, ketika di negeri orang, dokumennya dipegang oleh majikan. Nah, karena masuknya tak lewat PJTKI, mereka tidak diberi gaji. Begitu beberapa tahun kemudian, korban dipekerjakan dengan orang lain. Terkadang dipaksa. Bahkan, ada yang dipaksa melayani nafsu bejat lelaki hidung belang," kisah Stephanus.

Data Depnakertrans juga menyebutkan sebanyak 1.372 orang menjadi korban penganiayaan, pelecehan seksual sebanyak 1.314 orang, majikan bermasalah mencapao 1.200 orang, komunikasi tidak lancar sebanyak 1.162 orang, kecelakaan kerja sebanyak 838 orang, sakit akibat kerja sebanyak 819 orang, sakit bawaan sebanyak 762 orang, dan majikan meninggal mencapai 419 orang. (mnk)

Pendampingan korban dihamili polisi



Rabu, 27 Agustus 2008 , 12:14:00

PONTIANAK, METRO- Terbukti telah mengauli dua wanita, kekasihnya sendiri, hingga hamil tua. Bripka Sn oknum polisi cabul, akhirnya akan melepas baju seragamnya sebagai polisi. Vonis pecat dari kesatuan ini, direkomendasikan Pimpinan sidang komisi kode etik Polres Pontianak, Kompol Andri Syahril SIk.MH. "Atas nama hukum, terdakwa dinyatakan tidak layak lagi menjalankan tugasnya sebagai anggota Polri," tegasnya seraya mengetuk palu hakim tiga kali di persidangan komisi kode etik, di Polres Pontianak, Selasa (26/8) kemarin. Bripka Sn hanya bisa menundukkan wajah, ketika mendengar dibacakannya amar putusan hakim tersebut. Bripka Sn dianggap telah melanggar sumpah dan janjinya sebagai anggota penegak hukum.

Berdasarkan berita acara persidangan yang ada, Bripka Sn terbukti telah melakukan hubungan diluar nikah kepada Mawar (bukan nama seberanya, red). Akibat perbuatannya awal Januari silam, warga Anjongan ini kini hamil sembila bulan. Tak puas dengan Mawar, Bripka Sn kembali mengulangi perbuatan bejatnya dengan Melati (bukan nama seberanya, red), warga Pontianak, hingga hamil tujuh bulan. Sama seperti Mawar, Melati juga di gauli dengan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Atas perbuatan melanggar hukumnya tersebut, Bripka Sn telah melanggar PP Kapolri Nomor: 2 Tahun 2003 tentang disiplin anggota polisi, huruf d. "Keputusan akhir, kita menunggu keputusan dari Kapolda Kalbar," kata Andri Syahril, ditemui usai persidangan. Sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, kata Andri, putusan sidang komisi kode etik Polres Pontianak ini nantinya akan di sampaikan secara resmi ke Kapolres Pontianak. Selanjutnya, oleh Kapolres Pontianak, putusan hukum yang ada akan di ajukan ke Kapolda Kalbar untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.

Dilain pihak, Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP), Stepanus Paiman OFM Cap, selaku pihak pendamping korban, mengaku cukup puas dengan putusan pimpinan sidang. Dalam persiadangan yang sempat digelar dua kali ini, pimpinan sidang telah mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang netral. "Kami atas nama keluarga korban mengucapkan terimakasih kepada pimpinan sidang. Kami juga menilai, bahwa putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa Bripka Sn sudah cukup adil," ungkapnya. Ketika ditanya tentang tindak lanjut penanganan kasus asusila ini, secara tegas Stepanus menyatakan bahwa pihaknya akan berupaya menghadapkan Bripka Sn ke persidangan umum. Tindakan ini dilakukan karena Bripka Sn telah melakukan perbuatan yang merugikan bagi orang lain. Soal kapan waktunya, hal itu menurutnya masih dalam proses hukum. "Kita berharap putusan ini bisa menjadi peljaran bagi penegak hukum lainnya, mereka adakah pelindung dan pengayom masyarakat bukan malah berbuat sebaliknya," tegas Steph. (jai)

Pendampingan kasus Penghinaan Presiden

Pesan Singkat Berujung Perkara
Ivona Hartini Leonardi, perempuan yang sudah lama pensiun mengajar itu, terpaksa tampil lagi di depan kelas. Di usianya yang senja, 70 tahun, ia berceloteh di hadapan 40 murid Taman Kanak-kanak (TK) Karitas Dharma di Gang Rambutan, Jalan Yos Sudarso, Pontianak, Kalimantan Barat. Tapi perempuan itu terlihat murung dan agak canggung.

Maklum, para siswa sebentar-sebentar menanyakan Felix Setyawan Hidayat. "Mana Pak Felix? Kok, tidak pernah ada? Kapan Pak Felix pulang?" begitu para bocah itu bertanya-tanya. Ivona pun kerap terdiam. "Soalnya, saya juga tidak tahu kapan anak saya, Felix, pulang," ucapnya, sedih.

Felix, anak nomor tiga pasangan Leo Wardi Hidayat dan Ivona, adalah guru tetap di TK tersebut. Sejak 16 Maret lalu, lelaki 37 tahun yang disayang muridnya itu menginap di tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat. Tuduhannya, seperti ramai diberitakan media, adalah gara-gara mengirim pesan singkat (SMS) yang dinilai menghina presiden.

Pesan singkat yang dikirim ke 9949 --nomor layanan SMS pengaduan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-- itu menyebut SBY sebagai tempe. Tak lama berselang, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Polda Kalimantan Barat menggerebek kediaman Felix dan menciduknya.

Ketua tim advokasi Felix, Bruder Stephanus Paiman, menyesalkan penangkapan itu. Ia yakin, Felix tak bermaksud menghina presiden. "Apa yang dilakukannya hanyalah ungkapan emosional anak manusia yang setelah sekian lama berusaha mendapat keadilan, tapi tak kunjung berhasil," kata Penanggung Jawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak itu.

Memang SMS bernada gusar itu tak lepas dari kedongkolan Felix. Alkisah, beberapa tahun silam, Felix ingin membangun tempat bermain bagi murid-muridnya. Ia membeli sebidang tanah di samping rumahnya yang merangkap sebagai TK warisan itu. Kedua orangtuanya adalah pendiri dan pengajar di TK tersebut.

Ketika tanah itu akan dia pagar, tetangga Felix keberatan karena menganggap sebagian tanah tersebut miliknya. Tak mau ribut, Felix meminta petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat mengukur ulang tanah. Ternyata tanah itu memang milik Felix.

Felix kembali memagar tanah itu, yang berujung lima lelaki memukulinya. Kasus ini sampai ke kepolisian. Tapi orang yang memukul tak ditahan. Felix jeri sekaligus geram. Ia lantas mengadukan terhalangnya pembangunan pagar TK itu ke jajaran kepolisian dan Pemerintah Kota Pontianak.

Merasa tak juga ada penyelesaian, Felix akhirnya mengirim SMS pengaduan ke 9949 pada 8 Februari 2007 pukul 09.42 WIB. Intinya, Felix menuding Wali Kota Pontianak serta Reskrim Polda Kalimantan Barat dan jajarannya ikut berulah, sehingga upaya pemagaran itu terhambat.

Pesan singkat itu mendapat balasan standar: "Terima kasih atas partisipasi Anda, pesan Anda telah kami terima." Tak puas, Felix mengirimkan SMS yang sama ke layanan SMS Ani Yudhoyono, istri SBY. Jawaban yang didapat, menurut Paiman, menyarankan agar mengadu ke pemda setempat saja, tak perlu sampai ke ibu negara.

Suatu malam, beberapa waktu silam, Felix menonton televisi. Di layar kaca, Presiden SBY menanggapi langsung masalah pengusaha tempe yang kekurangan bahan baku. Spontan Felix mengirim SMS via 9949. Bunyinya, seingat Paiman: "Bgmana Pres, jgn hanya ngurusi tahu tempe, ini masalah serius, ini masalah pendidikan. Kalau bp spt ini berarti bp tempe."

Nah, menurut Paiman, Felix pun didatangi tim Densus 88, terdiri dari 9-10 orang. Tengah malam itu, Felix diinterogasi. Suara gaduh membuat Ivona terjaga. Ivona mengaku melihat dan mendengar anaknya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar SMS ke SBY itu.

Dini hari, Felix dibawa ke markas Densus 88, di samping markas POM, Jalan Urip Sumoharjo, Pontianak. Tiga telepon seluler, satu laptop, buku nomor telepon, dan printer dibawa serta. Paginya, anggota Densus 88 mengantar surat penahanan bernomor NP.Pol: SP.Kap/45/III/2008/Ditreskrim ke Ivona.

Felix dibawa ke tahanan Polda Kalimantan Barat. Ia ditahan selama 20 hari, dari 16 Maret hingga 4 April 2008, dan diperpanjang lagi 40 hari. Ketika berada di tahanan Polda Kalimantan Barat, kasus Felix bergeser. Tidak lagi soal SMS ke presiden, meski masih menyangkut pasal pencemaran nama baik, dengan pelapor bibinya sendiri tertanggal 2 September 2007.

Dalam uraian singkat perkara pada surat perpanjangan penahanan itu disebutkan bahwa tersangka pada 24 Juni 2007 sekitar pukul 12.00 WIB melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Felix dianggap mencemarkan nama baik Ana Leowardi, bibi Felix.

Ini merupakan buntut perseteruan lama antara Felix dan keluarga bibinya, terkait kasus pencabulan. Adik Felix, Fransiskus, mencabuli anak bibinya itu. Fransiskus dihukum enam bulan penjara. Tak puas, Ana yang bersuami orang Singapura bernama Ong Tian You ini mengajukan banding dan menggugat Fransiskus Rp 1 milyar.

Felix lantas berusaha memecah konsentrasi keluarga Ana dengan mengirim surat elektronik ke kepolisian Singapura. Intinya menyatakan bahwa Jeppy Leowardi, anak Ana, adalah orang berbahaya dan memiliki senjata. Ia juga mengirim SMS serupa ke kepolisian setempat bahwa ada seorang yang mirip anggota Jamaah Islamiyah (JI) bersenjata di Jalan Beringin.

Wartawan lokal dikiriminya pula SMS bahwa rumah di Gang Beringin IX E/6 digerebek polisi karena ada orang mirip anggota JI. Rumah ini tak lain kediaman keluarga Ana. Penuturan Kadiv Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Suhadi S.W., polisi segera mengirim anggota Densus 88 ke Jalan Beringin.

Karena tak menemukan hal seperti dilaporkan dalam SMS itu, polisi kemudian melacak nomor telepon pengirim. Ulah Felix pun ketahuan. Menurut Suhadi, keluarga Ana tak terima dan melaporkan Felix ke polisi pada 2 September 2007. "Jadi, kasus ini tidak ada hubungannya dengan masalah SMS ke presiden," kata Suhadi.

Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengaku tidak tahu-menahu ihwal kasus yang menimpa Felix itu. Ia mengingatkan, kasus pencemaran nama baik itu harus melalui delik pengaduan. "Dan selama ini, sama sekali tidak ada pengaduan dari pihak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan SMS tersebut," kata Andi.

Boleh jadi, SBY memang tak sembarang buang waktu merespons SMS gusar tadi secara hukum. Pasalnya, terhadap SMS yang lebih keras saja, misalnya dari broker pelabuhan bernama Wita, SBY tak meladeninya. Pada waktu itu, Wita mengirim SMS ke layanan Polda Metro Jaya di nomor 1717, menuding keluarga SBY pencuri (Gatra, 18 April 2007).

Toh, Paiman tetap yakin, penahanan Felix terkait dengan SMS kepada SBY itu. Ia menduga, boleh jadi itu inisiatif Polda Kalimantan Barat yang ingin cari muka. Karena terbentur soal delik aduan, kata Felix, dicarilah alasan lain, termasuk pengaduan keluarga Ana. "Pengaduan (Ana) itu kan sudah lama, kenapa baru sekarang ditanggapi?" Paiman mencibir.

Akil Mochtar, anggota Komisi III DPR yang terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, menilai tindakan polisi itu merupakan bentuk penyimpangan hukum. "Itu tidak boleh terjadi," katanya. Akil menyarankan Felix membuat pengaduan resmi ke Propam Polda Kalimantan Barat, Kapolri, Komnas HAM, dan DPR.

Menurut Paiman, ia telah melapor ke Propam Polda Kalimantan Barat. Ia pun berancang-ancang melapor ke Kapolri dan semua instansi terkait, termasuk lembaga bantuan hukum di Jakarta. "Saya siap habis-habisan," Paiman menegaskan. Wah, bakal rame nih.

Taufik Alwie, Bernadetta Febriana, dan Muhlis Suhaeri (Pontianak)
[Hukum, Gatra Nomor 23 Beredar Kamis, 17 April 2008]

Senin, 12 Oktober 2009

FRKP Dampingi Warga Peniraman

Makam Dirusak, Gunung Diserobot
Warga Peniraman Lapor ke Polda

PONTIANAK, METRO-Tjung Djit Kie alias akie (67)warga peniraman Senin (5/10) yang lalu, melaporkan Ah dan AS karena telah melakukan pidana penghancuran dan pengrusakan terhadap makam pihak keluarganya yang berada di bagian gunung Peniraman. Laporan ini sesuai dengan dengan LP/96/X/2009/ Dit Reskrim. Selain melapor ke polisi, keluarga Akie juga meminta pendampingan ke Forum Relawan Kemanusian Pontianak.

Bagian gunung yang kini akan dilakukan penggalian tambang C oleh perusahaan Litho Sindo Jaya, menurut Akie adalah tanah miliknya yang telah diserobot. Pengakuan Akie, sesuai dengan sertifikat nomor 148 tahun 1989 yang dikeluarkan BPN Kabupaten Pontianak, tanah dan bagian gunung tersebut adalah miliknya. Bahkan dia juga tetap mebayar pajak bumi dan bangunan untuk tahun ini sesuai dengan slip yang dikeluarkan kanwil pajak 6 Oktober 2009.

Senin (12/10) pihak perusahaan bersama Sekretaris Desa, petugas Pos Pol dan Koramil meninjau lokasi yang diributkan. Muklis dari Personalia PT Litho Sindo Jaya membantah kalau mereka telah merusak atau mengalihkan kuburan yang ada dilokasi pemanfaatn mereka. “Anda lihat sendiri, semua kuburan yang ada disini kita berikan tanda. Tidak ada yang kita rusak,” terangnya kepada sejumlah wartawan yang mendatangi lokasi.

Berdasarkan pantauan koran ini, kaki bukti ini telah dibuat jalan oleh eksavator hingga truk bias naik ke kaki bukit. Di pingir jalan inilah terdapat sekitar 30 makam Thionghoa dan sebuah kelenteng kecil. “Kita telah melakukan pembebasan lahan, kalau ada yang mengaku tanah ini adalah milik mereka, silakan membuat laporan dan mengajukan gugatan sesuai prosedur hukum yang ada,” jelas Muklis lagi.

Tanah yang akan mereka lakukan galian golongan C menurutnya, telah dibeli dari Raymundus selaku pemilik tanah. “Kita juga telah mengajukan izin kepada Pemkab dan isntansi terkait. Selian itu kita juga punya tanda tangan warga sekitar yang mengizinkan kita untuk melakukan aktifitas disini,” urainya. Raymundus yang juga berada di lokasi mengaku, tanah tersebut adalah pemberian dari almarhum ayanya bernama Fransiskus. “Tanah kita sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan BPN Pontianak tahun 1967, di atas tanah ini juga ada kuburan bapak,” tuturnya sembari menunjukan pada salah satu makam Thionghoa yang telah berkeramik dengan tanda salip di atasnya. Tanah miliknya diakui Raymundus luas sekitar 6 hektar lebih. Effendi Musa Sekretaris Desa peniraman yang meninjau lokasi menjelaskan, belum menerima laporan dari kepala dusun mengenai penggalian tambang yang ada. Namun dari hasil peninjauannya di lapangan, kuburan yang ada masih utuh.

Muklis dari PT Litho Sindo Jaya kembali menjelaskan, sebelum melakukan aktifitas mereka telah mengadakan beberapa kali pertemuan dengan warga sekitar dan perangkat desa. “Memang kepala desa tidak ada waktu pertemuan, kita juga menyayangkan SMS yang dikirimkannya karena meminta kita melakukan aktifitas karena dikhawatirkan bentrok,” timpalnya.

Br Stephanus Paiman Ofm Cap penanggung jawab umum FRKP yang juga ikut meninjau lokasi menjelaskan, mereka mendampingi kasus tersebut setelah diminta Tjung Djit Kie alias akie sesuai dengan laporan polisi yang ada. “Kita tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, serta mencari bukti-bukti dan saksi guna membantu pihak kepolisian dalam menyelidiki kasus tersebut,” jelasnya. (jai)

Kamis, 19 Maret 2009

Kamis, 26 Februari 2009 , Equator

06:28:00
Sumiati Divonis Bebas, Annisa Histeris
Pontianak, Terdakwa kasus trafficking, Sumiati alias Umi divonis bebas majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Padahal Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa enam tahun penjara. Jelas saja putusan itu mengecewakan sejumlah pihak hingga menimbulkan kericuhan.
Sidang digelar di PN Pontianak, Rabu (25/2) dipimpin ketua majelis hakim Subaryanto SH dengan anggota Sih Yuliarti dan Duta Baskara SH. Terdakwa didampingi pengacaranya Rizal Karyansyah SH, sementara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus ini adalah Farida Aspeyanie SH.
“Dengan ini majelis memutuskan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan dan dipulihkan haknya,” suara Subaryanto berkumandang memenuhi ruangan sidang.
Suasana ruang sidang pun hening. Namun ketika semua hendak keluar dari ruang sidang, tiba-tiba Annisa berteriak histeris mengatakan Pengadilan tidak adil. “Saya sudah menjalani hukuman, ini tidak adil, pengadilan ini tidak adil, mana pengacara, mana hakimnya, mana jaksanya, saya minta keadilan,” teriak Annisa.
Perlu diketahui dalam kasus yang terungkap pada April 2007 silam itu, Annisa juga terlibat merekrut korban yang semula akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran namun sesampai di Malaysia hendak dijadikan pekerja seks komersial. Namun korban yang di bawah umur itu lolos dan kemudian kasus itu dilaporkan ke Poltabes Pontianak. Annisa ditangkap dan majelis hakim memvonisnya dua tahun tiga bulan kurungan. Annisa sudah bebas dan kebetulan dia hadir di ruang sidang mendengarkan putusan itu.
Jelas saja suasana di PN memanas, Umi pun langsung dievakuasi oleh Rizal dan dua orang pria tegap bersafari. Namun Annisa, dan beberapa kerabatnya terus mengejar. Ketika hendak mengejar itulah, Usnah, 55 ibu Annisa mengaku terkena tamparan salah seorang pria bersafari yang mengawal Umi.
Berhasil keluar dari PN Pontianak, Rizal dan rekan-rekannya langsung membawa Umi ke kantin bakso lapangan tembak di samping PN. Ketika itu Annisa semakin kalap. Iapun ikut mengejar hingga di halaman kantin tersebut. Teriakan histerisnya meminta keadilan terus berkumandang. Jelas hal itu mengundang perhatian pemakai jalan sehinga sesaat jalanan menjadi macet. “Umi yang menyuruh saya mencari orang, tapi saya yang kena hukum, sedangkan Umi bebas. Ada apa dengan pengadilan ini,” teriaknya.
Kala itu ia yang kalap nyaris pingsan. Namun ia terus berteriak, sejumlah pengacara yang sedang santai di kantin pun berhamburan dan coba menenangkan Annisa dan oran tuanya. Apalagi ketika itu Annisa juga mencari-cari Rizal, pengacara Umi.
Merasa tak bisa bisa menemui Umi, Annisa kembali lagi ke PN dan di depan pintu masuk ia kembali meneriaki hakim di PN yang dianggapnya tidak adil. “Saya orang miskin dihukum, orang yang banyak duit dibebaskan. Saya tidak bisa nyogok hakim,” tukasnya.
Akhirnya Annisa bsia ditenangkan, sementara orang tua Annisa, Idris Rusli sangat menyayangkan bebasnya Umi karena dialah yang berhasil menemukan Umi di Ayani Megamall karena pada saat itu Umi sudah jadi buronan Poltabes. “Saya yang laporkan ke polisi hinga dia di tangkap. Karena dia anak saya di penjara. Saya pernah ditawari damai oleh Dumaria dan Rizal senilai Rp 20 juta. Omongan saya ini bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Idris Geram seraya menyebutkan penyidik di Poltabes yang menawarinya uang. Hal yang sama menurutnya juag dilakukan pengacara Umi.
Kepada wartawan, pengacara Rizal Karyansah SH meminta agar semua pihak dapat menghormati keputusan hakim karena unsur yang didakwakan telah tidak terbukti. “Fakta hukum di Pengadilan seperti itu. Kalau tidak puas kan ada upaya lain,” tukasnya.
Sementara, Usnah yang merasa ditampar pengawal Umi langsung melaporkan hal itu ke Poltabes Pontianak. Kala itu IPDA R Sitohang bersama beberapa anggotannya datang di tengah kericuhan dan langsung mengamankan pria bersafari yang kemudian diketahui berinisial Mw.
Ditemui wartawan di ruang unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Poltabes Pontianak, AIPTU Dumaria Silalahi membantah kalau ia menawarkan damai kepada keluarga Annisa dengan bantuan uang senilai Rp 20 juta. “Kita sudah bekerja prosedural dan tak pernah menawarkan damai kepada keluarga Annisa,” kata dia
Menurutnya kala itu dia mendapatkan keluhan dari Umi yang kemudian bersedia bertanggung jawab terhadap kehidupan Annisa dan seorang tersangka lainnya, Heri selama berada di tahanan. “Saya hanya menyampaikan keinginan Umi itu dan tidak pernah ke Annisa maupun orang tuanya. Tapi itukan bukan tawaran damai karena dalam kasus ini saya juga serius sehingga Umi tidak pernah ditangguhkan,” ungkapnya.
Keluar dari ruangan Dumaria, kebetulan ada Annisa yang menemani ibunya membuat laporan. Ia pun menghampiri wartawan dan mengatakan kalau Dumaria ada menemuinya di Rutan menyampaikan keinginan Umi yang hendak menanggung kehidupan dia dan anaknya selama di penjara. “Coba tadi bawa saya ke dalam menemui ibu penyidik itu, karena dia yang datang menemuai saya ketika di penjara,” ungkap Annisa.
Dikonfirmasi via selularnya, Kepala Kejari Pontianak, Esly Demas SH MH mengatakan akan melakukan upaya hukum Kasasi atas putusan bebas tersebut. “Ada upaya hukum dan itu akan kita tempuh. Tuntutan kita saja sudah berat. Sementara kasus Farhan yang divonis bebas saja bisa mendapatkan hukuman setelah Kasasi. Makanya itu akan kita lakukan,” singkatnya.
Penanggung Jawab Forum Relawan Kemanusian Pontianak (FRKP), Br Stephanus Paiman OFM Cap yang mendampingi keluarga Idris sejak kasus itu bergulir di persidangan menerangkan, walaupun kecewa, tetap mereka menghormati vonis hakim meski. Namun ia meyakinkan terhadap hasil putusan kasus itu akan disampaikan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Migrant Care, YLBHI, bahkan ke Kontras. “Sementara dugaan adanya praktik uang dalam penanganan kasus ini, kita juga akan sampaikan kepada Kompolnas,” pungkasnya. (her)

Selasa, 22 Juli 2008 , 09:19:00 METRO Pontianak




PONTIANAK, METRO - Keadilan itulah yang ingin dicari Ana (40) salah seorang pedagang Pasar Dahlia, yang kini rukonya digembok Petugas Pasar dan Sat Pol PP. Penggembokan ini sendiri dilakukan karena korban dianggap, telah menyalahi aturan bedagang barang kering di lantai bawah. Padahal seharusnya barang kering di lantai dua. Namun menurut korban, pedagang kering cukup banyak di lantai bawah.

Namun ruko yang lain tidak digembok, hanya miliknya yang digembok. Untuk meminta keadilan ini, Ana meminta bantuan Forum Relawan Kemanusian Pontianak (FRKP). Keluh kesah pedagang ini disampaikannya kepada Br Stephanus Paiman penanggung jawab FRKP. “Kalau mau adil, gembok juga yang lain dan pindahkan ke atas. Tapi ini hanya ruko saya saja, yang lain tidak digembok,” ujar korban. Penggembokan ini menurutnya terjadi sudah satu bulan, dan kini dia tidak berdagang. Hingga tidak tahu lagi kemana harus mencari rezeki.

“Di lantai atas itu sepi, orang malas mau berbelanja. Terlebih lagi di atas bangunannya kumuh,” ujarnya lagi. Steph yang menerima pengaduannya menuturkan, akan mengkordinasikan masalah ini dengan Pemkot Pontianak. “Pemkot harus adil, jangan mentang-mentang Ibu Ana orang Thionghoa dia yang terus ditekan,” pinta Steph. Permasalahan ini lanjut Steph bukan baru kali ini terjadi, sudah beberapa kali pihak pengelola pasar memperlakukan korban tidak adil. “Dia juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama. Apalagi dia selalu melunai kewajibannya,” Timpal Steph.(jai)

Selasa, 1 Januari 2008. Pontianakpost

Belasan TKI Kalbar Terlantar
Satu Anak Alami Dehidrasi

Pontianak,- Sebanyak 12 tenaga kerja Indonesia (TKI) Kalbar dari Malaysia terlantar di Pelabuhan Pontianak, Senin (31/12) pagi. Dua diantara rombongan TKI tersebut merupakan balita, yang salah satunya mengalami dehidrasi dan segera dilarikan ke RSUD Sudarso.

Para TKI tersebut mengaku datang menggunakan kapal dari Tanjung Priok Jakarta. Mereka tiba di Pontianak pukul 09.30 WIB. Namun, setelah lebih dari satu jam menunggu, tak satu pun petugas dari Dinas Sosial Kalbar datang. Bahkan, hingga semua penumpang kapal turun, mereka masih kebingungan karena tak ada petugas yang mengurus mereka. Padahal, tiga hari sebelum kedatangan mereka, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Departemen Sosial Jakarta telah mengirimkan fax kepada Dinas Sosial Kalbar, untuk memberi tahu kedatangan TKI tersebut.

Akhirnya, lima TKI asal Pontianak meninggalkan rombongan dan pulang sendiri ke rumahnya di Siantan. Sementara itu, TKI lainnya menghubungi Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP). Kemudian, TKI tersebut dijemput langsung oleh Br Stephanus Paiman OFM Cap, selaku Penanggung Jawab FRKP.

Sebagian dari TKI tampak kelelahan. Fitriani (23) tampak bingung melihat anaknya, Inasilawati (1,9) yang terlihat lemas. �Seharian ini anak saya tidak mau makan. Anak saya tidak sakit, hanya kata dokter di Kuala Lumpur ada cairan di otaknya, kepalanya akan terus membesar,� ujar TKI asal Putussibau kepada Pontianak Post, kemarin.

Fatriani mengungkapkan telah bekerja di Malaysia selama enam tahun. Dia kembali ke Kalbar karena paspornya habis. Sementara itu, seorang TKI asal Sambas, Inem (nama samaran-red) (21), mengaku kabur dari rumah majikannya di Malaysia. �Sebenarnya saya malu mau ngomong. Tolong jangan tulis nama saya. Saya kabur karena diperkosa majikan. Setelah kabur, saya malah masuk penjara lima bulan. Majikan saya hanya dikenakan denda 5000 ringgit, dan semua uang itu diberikan kepada petugas migrasi di sana,� jelas Inem dengan mata berkaca-kaca.

Penanggung Jawab FRKP, Br Stephanus Paiman OFM Cap mengatakan FRKP akan memberikan ongkos pulang kampung untuk TKI asal Sambas dan Mempawah. �TKI asal Sambas dan Mempawah akan kita antar ke terminal. Namun, untuk TKI asal Putussibau, mungkin Kamis depan baru dipulangkan. Karena sekarang ini tidak ada bus ke Putussibau,� ujar Stephanus, kemarin.

Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Kalbar, Katarina Lies yang datang ke FRKP untuk melihat kondisi TKI mengungkapkan, akan membawa Inasilawati, anak TKI asal Putussibau itu ke RSUD Sudarso. Katarina juga berusaha berulang kali menghubugi handphone petugas Dinas Sosial, namun tidak ada yang aktif.

�Seharusnya, walaupun libur, mereka harus tetap stand by. Apalagi Departemen Sosial pusat telah berkoordinasi dan mengirimkan fax. Nanti, kalau ditanya siapa yang menerima fax tersebut, semuanya lempar tanggung jawab,� sesal Katarina kepada Pontianak Post, kemarin.

Katarina menambahkan terlantarnya TKI ini merupakan penyakit lama. Padahal Dinas Sosial mempunyai dana untuk mengurus kepulangan TKI. �Seharusnya Dinas Sosial juga bisa bekerjasama dengan Dinsosnaker,� timpal Katarina. (uni)



< Sebanyak 12 tenaga kerja Indonesia (TKI) Kalbar dari Malaysia terlantar di Pelabuhan Pontianak, Senin (31/12) pagi. Dua diantara rombongan TKI tersebut merupakan balita, yang salah satunya mengalami dehidrasi dan segera dilarikan ke RSUD Sudarso.

Para TKI tersebut mengaku datang menggunakan kapal dari Tanjung Priok Jakarta. Mereka tiba di Pontianak pukul 09.30 WIB. Namun, setelah lebih dari satu jam menunggu, tak satu pun petugas dari Dinas Sosial Kalbar datang. Bahkan, hingga semua penumpang kapal turun, mereka masih kebingungan karena tak ada petugas yang mengurus mereka. Padahal, tiga hari sebelum kedatangan mereka, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Departemen Sosial Jakarta telah mengirimkan fax kepada Dinas Sosial Kalbar, untuk memberi tahu kedatangan TKI tersebut.

Akhirnya, lima TKI asal Pontianak meninggalkan rombongan dan pulang sendiri ke rumahnya di Siantan. Sementara itu, TKI lainnya menghubungi Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP). Kemudian, TKI tersebut dijemput langsung oleh Br Stephanus Paiman OFM Cap, selaku Penanggung Jawab FRKP.

Sebagian dari TKI tampak kelelahan. Fitriani (23) tampak bingung melihat anaknya, Inasilawati (1,9) yang terlihat lemas. �Seharian ini anak saya tidak mau makan. Anak saya tidak sakit, hanya kata dokter di Kuala Lumpur ada cairan di otaknya, kepalanya akan terus membesar,� ujar TKI asal Putussibau kepada Pontianak Post, kemarin.

Fatriani mengungkapkan telah bekerja di Malaysia selama enam tahun. Dia kembali ke Kalbar karena paspornya habis. Sementara itu, seorang TKI asal Sambas, Inem (nama samaran-red) (21), mengaku kabur dari rumah majikannya di Malaysia. �Sebenarnya saya malu mau ngomong. Tolong jangan tulis nama saya. Saya kabur karena diperkosa majikan. Setelah kabur, saya malah masuk penjara lima bulan. Majikan saya hanya dikenakan denda 5000 ringgit, dan semua uang itu diberikan kepada petugas migrasi di sana,� jelas Inem dengan mata berkaca-kaca.

Penanggung Jawab FRKP, Br Stephanus Paiman OFM Cap mengatakan FRKP akan memberikan ongkos pulang kampung untuk TKI asal Sambas dan Mempawah. �TKI asal Sambas dan Mempawah akan kita antar ke terminal. Namun, untuk TKI asal Putussibau, mungkin Kamis depan baru dipulangkan. Karena sekarang ini tidak ada bus ke Putussibau,� ujar Stephanus, kemarin.

Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Kalbar, Katarina Lies yang datang ke FRKP untuk melihat kondisi TKI mengungkapkan, akan membawa Inasilawati, anak TKI asal Putussibau itu ke RSUD Sudarso. Katarina juga berusaha berulang kali menghubugi handphone petugas Dinas Sosial, namun tidak ada yang aktif.

�Seharusnya, walaupun libur, mereka harus tetap stand by. Apalagi Departemen Sosial pusat telah berkoordinasi dan mengirimkan fax. Nanti, kalau ditanya siapa yang menerima fax tersebut, semuanya lempar tanggung jawab,� sesal Katarina kepada Pontianak Post, kemarin.

Katarina menambahkan terlantarnya TKI ini merupakan penyakit lama. Padahal Dinas Sosial mempunyai dana untuk mengurus kepulangan TKI. �Seharusnya Dinas Sosial juga bisa bekerjasama dengan Dinsosnaker,� timpal Katarina. (uni)

Sabtu, 8 Maret 2008. Pontianak Post

Kirim Artikel Print Artikel


Terimakasih FRKP

Saya bagian dari warga Tionghoa Kota Pontianak, mengucapkan terimakasih atas kerelaan dan kerendahan hati Bruder Stephanus Paiman OFM Cap dari Forum Relawan Kemanusian Pontianak yang bersedia menjadikan dirinya sebagai JAMINAN untuk mengeluarkan seorang ibu dari Rumah Sakit Santo Antonius Pontianak karena kesulitan biaya. Sudah banyak yang bapak buat dengan kawan-kawan FRKP untuk masyarakat �kecil� seperti kami, tanpa membedakan agama, suku, dan warna kulit. Bravo FRKP, jalan terus dengan karyanya. Kami mendukung anda!

Aseng
Warga Sungai Raya Dalam Pontianak

Bekerja Demi Kemanusian

Forum Relawan Kamanusian Pontianak (FRKP)

adalah Organisasi sosial yang di dalamnya berisikan anggota terdiri dari semua etnis dan agama.
Saat ini FRKP dikomandoi Br Stephanus Paiman Ofm Cap, atau yang akrab disapa bung Steph.
Pria yang mengabdikan hidupnya untuk membantu sesama ini, menciptakan FRKP setelah terinspirasi dari Jaringan Relawan Kemanusian (JRK) yang didirikan Romo sandiawan
Saat ini FRKP memiliki ratusan anggota yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat, dengan profesi mulai dari pengusaha hingga tukang sol sepatu ada di dalamnya.